Melihat perbuatan Allah ‘Azza wa Jalla atas manusia adalah ‘aqidah (keyakinan) yang tidak terbatalkan oleh hukum, sebab Dia sendirilah yang menentukan dan menuntut.
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan ditanyai” (Q.S 21: 33)
Inilah keyakinan yang dipegang oleh setiap Muslim yang muqin (yakin), mengesakan, ridha menerima Allah ‘Azza wa Jalla, dan menuruti segala qada, qadar, dan perbuatanNya atas dirinya dan selainnya. Dia Mahakaya (tidak membutuhkan) dirimu, dan juga kesabaranmu, akan tetapi Dia hanya (ingin) melihat apa yang akan kau lakukan dengan klaim klaim pengakuanmu, apakah kamu memang benar benar tulus ataukah hanya berdusta?
Seorang pencinta tidak memiliki apa apa. Semua yang dimilikinya, sudah ia serahkan pada kekasih yang dicintainya. Cinta dan kepemilikan selamanya tidak akan menyatu. Seorang yang mencintai Allah ‘Azza wa Jalla dan benar benar tulus mencintaiNya (harus) menyerahkan diri, harta, dan kesehatannya padaNya serta meninggalkan ikhtiar bagi dirinya dan orang lain. Ia tidak akan menuduhNya macam macam perihal perbuatanNya. Ia juga tidak memburu buruNya dan tidak pula pelit padaNya. Baginya, semua yang dikeluarkan olehNya untuk dirinya adalah sesuatu yang indah. Semua arah sudah tertutup baginya dan hanya menyisakan satu arah saja, Dia.
Hai orang orang yang mengaku mencintai Allah ‘Azza wa Jalla, cintamu padaNya tidak akan sempurna sebelum kaubuntukan semua jalan, hingga hanya menyisakan satu jalan saja bagimu. Kekasihmu telah mengeluarkan makhluk dari dalam hatimu, dari ‘Arsy hingga kedalaman bumi. Karena itu, jangan kaucintai dunia, juga Akhirat. Anggaplah semua itu gersang bagimu dan rasakan kenyaanan bersamaNya. Bersabarlah sebagaimana kesabaran Majnun Layla saat ia termakan cinta. Ia keluar dari tengah tengah makhluk dan asyik menyendiri serta bergaul dengan binatang binatang buas. Ia rela keluar dari gudang megah dan menerima gubuk reot. Ia keluar dari pujian manusia dan cacian mereka. Baginya, bicara dan diam sama saja, ridha dan benci juga sama saja. Suatu ketika ia pernah ditanya, “Siapa engkau” Ia menjawab “Layla.” Ditanya lagi, “Darimana engkau berasal?” Ia jawab “Layla.” Lagi lagi ia ditanya, “Kemana engkau mau berjalan?” Lagi lagi ia menjawab, “Layla.” Ia telah buta dari selain Layla dan tuli dari selain mendengar ucapan Layla. Ia tidak bergeming meninggalkan gadis itu hanya karena cercaan para pencerca.
Ketika hati ini mengenal Allah ‘Azza wa Jalla, mencintai dan dekat denganNya, tidak ada sesuatu pun yang mampu mengikatnya selain syara’ yang mengikatnya dalam perintah, larangan, dan perbuatan, membelenggunya hingga datang takdir. Ya Allah, jangan jauhkan kami dari tangan rahmatMu, niscaya kami tenggelam di dalam samudera duniawi dan samudera wujud. Wahai penganugerah kemuliaan dan Penetap presenden (as sabiqah), sadarkan kami!
Wahai pemuda! Barangsiapa yang tidak melaksanakan apa yang aku tuturkan ini, maka ia tidak akan mampu memahami ucapanku, dan baru setelah mengamalkan, ia akan paham. Jika engkau tidak mau berbaik sangka padaku dan tidak menuruti apa yang aku tuturkan, juga tidak mau mengamalkannya, bagaimana kaumau paham? Kau ibarat orang yang lapar yang berdiri di sampingku, namun tidak mau memakan suguhanku, bagaimana kaumau kenyang? Diriwayatkan Abu Hurayrah (semoga Allah meridhainya) katanya “Aku mendengar Rasulullah Saw. Bersabda:”
“Barangsiapa yang sakit semalam saja, sambil ridha pada Allah ‘Azza wa Jalla dan sabar menghadapi apa yang menimpanya, maka ia telah keluar dari dosa dosanya sebagaimana saat ia dilahirkan oleh ibunya.”
Dengan mengandalkan dirimu sendiri, engkau tidak akan meperoleh apapun. Mu’adz (semoga Allah meridhainya) pernah berkata kepada para sahabat, “Bangkitlah, mari kita beriman sesaat!” Artinya marilah kita bangkit mencicipi (keimanan) sesaat. Bangkit dan masuklah ke pintu (iman) sesaat. Ia mengucapkan demikian sebagai ungkapan kebersamaan dengan mereka. Di sini, ia menghimbau pada penelaah sesuatu yang masih samar, dan menghimbau untuk melihat dengan mata keyakinan, sebab tidak setiap orang Islam adalah Mukmin, dan tidak setiap orang Mukmin adalah muqin (yakin). Karena itu, ketika para sahabat, semoga Allah meridhai mereka, mengadukan hal ini pada Rasulullah sambil mengatakan, “Mu’adz berkata pada kami, Bangkitlah kalian, mari kita beriman sesaat. Bukankah kami ini orang orang Mukmin?” Nabi Saw. Bersabda:
“Biarkan Mu’adz dengan urusannya sendiri.”
Hai orang orang yang diperbudak hawa nafsu, tabiat, setan dan duniawinya! Engkau tidak memiliki nilai apa apa dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla dan dihadapan hamba hambaNya yang saleh. Siapa yang menyembah Akhirat, tidak akan kutoleh, apalagi orang yang menyembah dunia?
Celakalah! Apa yang kauperbuat dengan ocehan lisan tanpa realisasi amal? Engkau berdusta, tetapi kau anggap dirimu benar. Engkau juga syirik, tetapi kau anggap dirimu bertauhid. Kauyakini keshahihan, sambil kecurangan terus melekat bersamamu, tetapi kau meyakininya sebagai kemuliaan. Urusanku denganmu adalah mencegahmu dari kebohongan dan menghimbaumu pada ketulusan. Di tanganku ada tiga timbangan yang mengantarkanku pada makrifat, yaitu alkitab, Sunnah, dan hatiku. Hati tidak akan mencapai kedudukan ini sampai ia merealisasikan Alkitab dan Sunnah. Amal dengan (landasan) ilmu adalah mahkota ilmu. Amal dengan (landasan) ilmu adalah cahaya ilmu, ia adalah murninya murni, esensinya esensi, dan isinya isi. Amal dengan (landasan) ilmu mampu menyehatkan hati dan menyucikannya. Jika hatio sehat, maka fisik badan akan sehat pula. Jika hati bersih, maka bersih pula fisik anggota badan, jika hati terlepas, maka terlepas pula surga. Jika embrio sehat, maka struktur tubuh akan sehat. Kesehatan hati berasal dari kesehatan nurani yang berada di tengah tengah antara anak Adam dan Tuhannya ‘Azza Wa Jalla. Nurani adalah burung dan hati adalah sangkarnya. Hati adalah burung dan struktur fisik tubuh adalah sarangnya. Fisik badan adalah burung, dan kuburan adalah sarangnya. Kubur adalah sarang hati yang mau tidak mau harus mereka masuki.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar